Jakarta, detikborneo.com – Sekelompok Pemuda Dayak Kalimantan Barat menyampaikan kekecewaan mereka melalui sebuah surat terbuka yang ditujukan langsung kepada Ketua Komisi V DPR RI, Bapak Lasarus, S.Sos., M.Si. Surat ini menyuarakan kritik keras terhadap program transmigrasi yang dianggap lebih memihak pendatang baru dibanding masyarakat asli pedalaman Kalimantan Barat.
Berikut isi lengkap surat terbuka tersebut.SURAT TERBUKA PEMUDA DAYAK KALIMANTAN BARAT: PALU TRANSMIGRASI YANG MENGABAIKAN SUARA MASYARAKAT PEDALAMAN KALIMANTAN
Kepada Yth.Bapak Lasarus, S.Sos., M.Si.Ketua Komisi V DPR RI
Dengan hormat, Pertama-tama, kami ucapkan terima kasih karena Bapak telah mengetuk palu—tanda persetujuan resmi dan penuh wibawa—demi memberi “karpet merah” kepada program transmigrasi. Dengan palu itu, mereka yang datang dari luar Kalimantan kini disambut dengan fasilitas layak, lahan subur, dan akses yang tidak kami miliki.Namun sesungguhnya, palu itu bukan hanya palu persetujuan.
Di telinga kami, palu itu berdentum sebagai tanda bahwa harapan kami dikubur lebih dalam lagi.Kami, Pemuda Dayak Kalimantan Barat, telah lama menggantungkan harapan pada Bapak. Kami percaya, Bapak akan mengetuk palu untuk membuka jalan di pedalaman kami yang sudah bertahun-tahun tak bisa dilalui saat hujan. Kami percaya, palu itu akan menjatuhkan keputusan untuk membangun rumah yang layak bagi saudara-saudari kami yang tinggal di dinding bambu dan atap bocor.
Kami percaya, palu itu akan menjadi sinyal bahwa listrik bukan lagi kemewahan, tetapi hak dasar masyarakat pedalaman.Namun nyatanya, kami salah. Bapak memilih mengetuk palu untuk mereka yang baru datang, bukan untuk kami yang sudah lama tinggal dan menjaga hutan ini. Bapak memilih memberikan fasilitas kepada mereka yang belum mengenal tanah ini, sementara kami yang hidup turun-temurun di atas tanah leluhur, terus berjuang dalam gelap, berlumpur di jalan rusak, dan hidup dalam keterbatasan.
Ketukan palu Bapak juga telah kian membuat keadilan bagi kami semakin renggang dan jauh dari harapan, karena kami merasa seperti anak tiri di rumah sendiri yang tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tua yang tidak peduli dengan keadaan kami hari ini. Bahkan ungkapan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti termuat dalam butir kelima Pancasila hanya sebatas indah melalui sebuah tulisan namun pahit dalam realita kehidupan kami sebagai orang pedalaman Kalimantan.
Gemerlap ibu kota dan empuknya kursi Ketua Komisi mungkin telah membuat Bapak lupa bahwa di pedalaman Kalimantan Barat masih ada anak-anak yang belajar ditemani pelita. Ada masyarakat yang harus terus menerus menandu mereka yang sakit dan bahkan sampai meregang nyawa di tengah jalan karena akses jalan yang tak mampu dilalui roda 2 dan roda 4. Ada ibu-ibu yang berjalan berkilo-kilometer hanya untuk mendapatkan air bersih. Ada pemuda yang kehilangan masa depan karena akses pendidikan dan infrastruktur hampir tak ada.Bahkan untuk membeli sehelai baju pun, kami harus berpikir dua kali.Tapi kami sadar, nasi sudah menjadi bubur.
Palu sudah diketuk.
Arah sudah dipilih.Kami hanya bisa berharap, suatu hari nanti, palu yang sama akan kembali mengetuk—bukan untuk memberi kepada mereka yang baru datang, tapi untuk mengangkat harkat hidup masyarakat asli di pedalaman Kalimantan Barat. Kami tidak menolak keadilan untuk orang lain, tapi kami menuntut keadilan juga bagi diri kami sendiri. Kelak, mungkin para transmigran akan memilih Bapak sebagai wakil mereka. Tapi ingatlah, sebelum mereka datang, kamilah yang memilih Bapak hingga duduk di kursi yang empuk, kami sudah lebih dulu ada di bumi borneo ini. Kami adalah penjaga tanah ini. Kami bukan tamu, kami adalah tuan rumah yang kini diabaikan oleh putra kelahiran tanah itu sendiri.
Hormat kami,
Pemuda Dayak Kalimantan Barat

